TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengantisipasi dampak lonjakan harga minyak dunia akibat ledakan kilang minyak Saudi Aramco yang terjadi akhir pekan lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menampik jika hal itu kemungkinan juga akan berpengaruh terhadap realisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan.
Adapun besaran subsidi BBM dan LPG di tahun ini dialokasikan sebesar Rp 90,28 triliun. “Kalau dilihat dari asumsi APBN 2019 kan ini malah lebih rendah, jadi kami melihat kalau koreksinya bersifat jangka pendek mungkin masih bisa akan terserap,” ujar dia di Jakarta, Selasa 17 September 2019..
Berdasarkan asumsi APBN 2019, harga minyak ditentukan sebesar US$ 70 per barel. Sedangkan, rata-rata pergerakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) hingga Juli 2019 berada di bawah asumsi tersebut, yaitu US$ 62,9 per barel.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan memantau dampak jangka menengah akibat peristiwa ini, khususnya terkait dengan dinamika stabilitas keamanan dan politik Timur Tengah. “Kami akan mencermati apakah kenaikan harga minyak ini dampaknya permanen atau sebatas singkat,” ucapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan pemerintah perlu mewaspadai jika lonjakan harga minyak terus berlanjut hingga di atas asumsi APBN. “Ini akan memicu pelebaran belanja subsidi BBM, dan jika subsidi melebar tanpa disertai dengan naiknya penerimaan pajak, maka defisit APBN juga pasti melebar,” ujar dia.
“Ujungnya opsi penambahan utang di akhir tahun bisa jadi tak terhindarkan.” Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, realisasi belanja subsidi untuk BBM dan LPG hingga Juli lalu telah mencapai Rp 41,5 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan dampak dari kenaikan harga minyak ini akan terefleksi pada peningkatan biaya pengadaan BBM November dan Desember. “Karena pengadaannya dimulai di bulan-bulan ini,” ucapnya.
Menurut Fabby, ambang batas harga maksimal yang masih bisa dikendalikan pemerintah yaitu di bawah US$ 75. “Kalau lebih dari itu bahkan sampai US$ 80 akan sulit mengendalikan harga BBM untuk tidak naik,” kata dia. Sebab, Fabby memprediksi kenakan harga minyak hingga ke level tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya produksi BBM sebesar 10 persen. “Ini yang harus dipikirkan pemerintah, karena pemerintah juga pasti tidak menginginkan adanya kenaikan.”
Sementara itu, pemerintah juga berfokus untuk memastikan ketersediaan pasokan minyak dalam negeri tetap aman. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Djoko Siswanto berujar Indonesia mengimpor setidaknya 110 ribu barel per hari dari Saudi Aramco. “Dalam sehari produksi mereka bisa mencapai 13,6 juta barel per hari, sedangkan akibat serangan ini produksinya terganggu sekitar 5,7 juta barel,” katanya.